AL HURRIYAH DAN MBAK BERKERUDUNG BIRU

Pertama kali aku mengenalnya adalah saat aku menonton sebuah video yang namanya “100 Impian Jadi Nyata”. Tokoh utamanya adalah Danang AP. Sebuah kisah nyata seorang mahasiswa IPB angkatan 2004 yang memulai mewujudkan impian-impiannya dari sebuah langkah kecil : MENULISKAN IMPIAN-IMPIAN ITU SECARA NYATA DALAM SELEMBAR KERTAS.

Ya, aku pertama kali mengenal nama Al Hurriyah dari video itu. Dan kemarin, aku bertemu langsung dengan dia.

Kalian tahu siapakah Al Hurriyah itu? Apakah ia seorang wanita berkerudung lembut? Apakah ia adalah seorang gadis manis berwajah syahdu nan melankolis? Ternyata bukan, ia adalah nama ‘seorang’ masjid. Masjid kampus IPB.

Narsis. Lagi-lagi narsis. Tapi, aku menolak jika dikatakan bahwa aku narsis. Silakan kalian berkata apa, aku tak peduli.

Sebelum sampai ke kisah ini, maka pertama harus kuawali perjalanan ini dari rumah kontrakan. Dari sinilah semuanya bermula. Hmm…kisah yang mengharukan sekali kayaknya. Seperti biasa, sabtu pagi, jika ada komando dari ‘atasan’, ngajak ghatering, sharing ilmu di sebuah tempat yang letaknya dekat Patung Jendral Sudirman (ternyata tempat ini dijadikan salah satu tempat syuting film Nagabonar Jadi 2, adegan saat Dedy Mizwar hormat pada Patung Sang Jendral), maka pagi-pagi aku sudah harus bersiap-siap mengawali kisah ini dari rumah kontrakan.

Jam 7 pagi mulai jalan kaki (maklum, aku suka jalan kaki, agar badan tetap fit sepanjang hari), tiba di perempatan Warung Jambu untuk bertemu dengan kendaraan favoritku : Angkot 07. Meluncurlah aku ke Stasiun Bogor. Dari sana langsung melesat sampai ujung mentok, tiba di Stasiun Jakarta Kota. Lanjut ke Busway Transjakarta, berhenti berkali-kali di setiap halte. Dan setiap akan berhenti, lampu berjalan yang ada di atas sopir berwarna merah menyala, menunjukkan nama halte berikutnya. Lalu dari speaker busway muncul suara wanita dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Keren betul. Kira-kira suaranya begini,

“Pemberhentian berikutnya, halte Bank Indonesia. Periksa barang-barang bawaan Anda. Hati-hati melangkah. Terima kasih.”

Lalu sedetik kemudian langsung ditranslate ke bahasa Inggris. Dan aku berhenti di halte Dukuh Atas, yang kalau jalan sedikit lagi, maka akan sampai di halte Blok M.

Dari rumah kontrakan ke halte ini, kuhitung kurang lebih 4 jam. Lalu 4 jam pula gathering ilmu bersama kawan-kawan Pejuang Syariah (biar kedengeran keren dan agak nyantri). Dan 4 jam pula perjalanan pulang. Kembali ke rumah kontrakan. Ternyata angka 4 memang spesial sekali.

Malam gelap menyelimut. Kabut-kabut menyambut. Burung-burung gagak terlelap. Burung hantu tak bergerak. Buaya-buaya kembali ke sarang. Kelelawar-kelelawar pergi menghadap Batman (hayah). Harap maklum, biar lebih kelihatan ‘sastra’, jadi cerita ini harus pakai kalimat-kalimat hiperbolis yang susah dipahami sekaligus sedikit ngawur.

Mandi – makan. Eh, terbalik, makan – mandi. Makannya pakai ayam goreng MUI. Kalian tahu kenapa ayam goreng ini disebut “Ayam Goreng MUI”? Rahasianya sederhana : karena di gerobak penjualnya terdapat stiker super besar bertuliskan sertifikat halal MUI.

Bakda isya itulah sesungguhnya perjalanan ini dimulai. Aku jalan kaki (lagi). Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa aku suka jalan kaki agar badan tetap fit sepanjang hari? Sekarang, malam ini, aku jalan kaki agar badan fit sepanjang malam. Hmm…

Nyegat bis di halte Warung Jambu. Transpakuan, itulah nama bis yang sangat elegan itu. Warnanya abu-abu. Oya, kalau Transjakarta itu warnanya dominan merah-kuning. Transpakuan ongkosnya 3 ribu, kalau Transjakarta tadi 3 ribu 5 ratus. Aku masuk dengan hati berdebar ke bus abu-abu itu. Berdebar karena satu hal : takut kebablasan karena memang belum tahu tempat berhentinya.

Tapi untunglah ternyata di dalam bus itu ada mbak penjaga bus, sekaligus sebagai kondektur. Agak aneh memang, kondekturnya seorang mbak-mbak, padahal di Transjakarta tadi kondekturnya mas-mas. Mbak kondektur itu kurus, lebih tinggi aku. Aku tahu tingginya karena aku berdiri tepat dibelakangnya, jadi aku bisa memprediksi berapa tinggi badannya.

Aku lupa mengatakan satu hal, selain aku suka jalan kaki, aku juga suka berdiri di dalam bus. Itu semua karena satu alasan : aku tak dapat tempat duduk. Tapi alasan alibi-nya ya yang tadi : biar badan tetap fit sepanjang malam. Ah, ironis sekali sepertinya.

Aku sebenarnya kasihan pada mbak kondektur berbadan kecil itu, apalagi saat aku melihat dia tidak bisa menutup pintu bus karena mungkin lagi seret. Ia terlihat sangat gimana gitu. Tapi apa dayaku. Nanti kalau aku membantunya, aku takut dikira sok jagoan, sok pahlawan, sok cari perhatian. Selain itu, jika aku membantunya menutup pintu bus, pasti mbak itu akan berterimakasih padaku sambil tersenyum manis. Lalu aku akan meminta nomor HP-nya, lalu kami sering SMS-an, lalu…dan lalu…dan lalu…lalu-lintas. Maka, demi kemaslahatan bersama, aku hanya diam saja melihat semua ketidak adilan itu terjadi. Biarlah.

Maka sampailah aku di halte Bubulak, halte terakhir. Sesuai dengan SMS petunjuk arah, maka aku naik angkot lagi (ingat, tadi aku sudah bilang bahwa selain aku suka jalan kaki, suka berdiri di dalam bus, aku juga suka naik angkot). Aku naik angkot Kampus-Dalam. Sesuai petunjuk itu juga maka aku harus meminta pada angkot’s driver agar menurunkanku di Berlin. Sama dengan nama tembok di Jerman, yang ternyata Berlin yang ini adalah sebuah gang kecil tempat masuk ke kampus.

Dalam perjalanan angkot inilah sebuah peristiwa mendebarkan terjadi…

Di tengah jalan, terdapat mbak-mbak berkerudung yang naik angkot yang kutumpangi…hmm…

3 mbak-mbak yang kuprediksi masih mahasiswi. Kalau disuruh menebak, ini adalah beberapa hasil  tebakanku : mereka belum menikah, mereka masih semester 6-an, dan mereka wanita baik-baik (khusnudzon). Dan aku mulai berdebar-debar karena salah satu dari mereka duduk tepat disampingku. Ya Tuhan, apakah ini rejeki yang Engkau turunkan untukku di malam yang syahdu ini?

Dari 3 mbak-mbak berkerudung itu : satu berkerudung putih, satunya putih bermotif bunga-bunga warna merah, yang terakhir berkerudung biru. Aku semakin berdebar-debar. Jantungku tak dapat diatur iramanya. Rasa kantuk dan lelahku seketika sirna.

Maka, aku pun mulai berimajinasi. Kalian jangan berpikir yang tidak-tidak terlebih dahulu. Inilah imajinasiku kalau kalian sungguh ingin tahu :

====================================

Sesampainya mereka bertiga di dalam angkot, mbak berkerudung putih itu menangis pilu. Ia tersedu-sedu. Lalu aku bertanya padanya, “Ada apa gerangan yang terjadi padamu, Saudariku? Katakanlah sejujurnya padaku.”

Karena terisak, ia tak bisa menjawab. Yang menjawab adalah mbak berkerudung biru, “Ini Mas, teman saya buku-bukunya tertinggal di dalam bis, dan bis-nya sudah melaju kencang. Buku-buku itu mahal harganya. Teman saya ini menabung lama untuk bisa membeli buku itu.”

Maka, aku berpikir sejenak sambil mengelus-elus jidat. Berpikir serius. Lalu dengan cepat aku mangambil alih kemudi angkot. Angkot’s driver kusuruh pindah ke kursi sebelah kiri.

“Bisnya warna apa?” aku bertanya serius pada mbak berkerudung biru.

“Abu-abu mas…” dia menjawab dengan penuh kelembutan.

Aku sigap. Kusetir angkot itu seperti Valentino Rossi sedang mengemudikan mobil balap F-1. Kecepatan tinggi. Jalan-jalan berkelok kuterobos begitu saja. Aku juga sempat menabrak dagangan tukang tomat. Tomatnya berhamburan. Aku terus melaju mengejar bus warna abu-abu. Penumpang di dalam angkat termasuk 3 mbak berkerudung itu terlihat ketakutan. Mereka semua ketakutan karena tadi aku bilang bahwa aku baru belajar mengemudi setahun yang lalu, itupun hanya 6 hari kursus, sejak kursus itu aku belum pernah mengemudi lagi, dan aku juga belum punya SIM mengemudi. Mereka berteriak histeris. Aku tak peduli. Kalau dalam kondisi seperti ini, semangat Social Corporate Responsibility-ku sedang tinggi-tingginya.

Aku menginjak pedal gas semakin tinggi. Lalu menginjak rem dengan tiba-tiba pula. Kalian bisa membayangkannya? Sungguh mengerikan! Sangat dan sangat menegangkan!

Akhirnya setelah bergelut dengan maut dan bertaruh nyawa, bis warna abu-abu itu terkejar. Ternyata ia sudah mangkal di terminal terakhir. Ya di halte Bubulak tadi. Aku memeriksa ke dalam bus. Ah, itu dia bukunya. Ketemu. Aku mengambilnya lalu menyerahkannya ke mbak berkerudung putih. Lalu aku mengantarkan mereka bertiga sampai halte terdekat dimana mereka akan pulang.

Kalian ingin tahu yang terjadi selanjutnya?

Setelah aku menurunkan mereka di halte, aku hendak berbalik. Sambil menatap mereka, aku bilang pada mereka, “Lain kali hati-hati.” Saat mengatakan itu, aku merasa seperti Tuxedo Bertopeng sehabis menyelamatkan Sailormoon dari serangan monster jahat. Aku seperti pahlawan saja.

Lalu, inilah kejadian paling romantis yang pernah ada di muka bumi menurut versiku sendiri, setelah aku hendak masuk angkot lagi, ketika hendak membuka pintu angkot, mbak berkerudung biru itu berteriak, bertanya padaku,

“MAS SIAPA NAMANYA???”

Aku menoleh, tersenyum optimis, lalu bilang, “Joko…..”

Aku sengaja tidak mengatakan bahwa nama legendarisku yang sebenarnya adalah ‘SuLy’.

Mbak berkerudung biru itu lantas tersenyum sambil menyebut namaku berulang-ulang seperti orang berdzikir. Kutebak, pasti malam itu ia akan memimpikan aku.

=========================================

Sungguh konyol sekali aku membayangkan kejadian seperti itu. Dulu aku juga pernah bilang, bahwa menggombal itu kadang-kadang sangat dahsyat dampaknya.

Cukup, khayalannya cukup sampai disini. Akhirnya aku tiba di Berlin. Masuk. Aku bertanya pada 2 mbak-mbak yang kali ini belum berkerudung, “Mbak, Al Hurriyah ke sebelah mana?”

Dia bilang, “Mas lurus saja, jangan belok-belok.  Tapi agak jauh mas, kalau jalan kira-kira sepuluh menit-an.” Aku pun jalan. Tak kusangka, akhiran ‘–an’ pada kata ‘10 menit-an’ lamanya juga hampir 10 menit. Maka, 10 menit-an itu sama saja dengan hampir 20 menit. Tapi tak mengapa karena toh tadi sudah kubilang bahwa aku suka jalan kaki.

Aku pun menginjakkan kaki di tempat itu, di Masjid Al Hurriyah IPB. Tempat dimana –semoga- impian-impian itu juga akan menjadi nyata senyata-nyatanya.

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu!

SALAM

http://suliwe.co.nr/

Leave a comment