AKU, IKAL, A LING DAN SEPEDA –3_1

Dua hari berikutnya hari senin. Dan dimanapun di negeri ini, di setiap SMP negeri, maka tiap hari senin selalu diadakan ritual keramat : upacara bendera. Setiap murid, kompak memakai seragam bawahan biru, atas putih, topi berlogo Tut Wuri Handayani.

Senin pagi itu, aku sebenarnya sadar, aku ini pada dasarnya anak baik. Tapi demi menjunjung tinggi asas persahabatan dan solidaritas, aku sering dan hampir selalu mengesampingkannya. Siapa lagi biangnya kalau bukan Anggieza! Dia adalah kawan sebangku-ku. Nama lengkapnya Anggieza Perdamaian Nasution. Panggilannya Anggie. Ia keturunan negeri Batak. Dan ia laki-laki.

“Sekali-sekali ‘kan nggak papa! Nggak bakalan tahu, percaya deh!” Anggie benar-benar seperti jin penggoda iman manusia. Benar, kami –kawan sekelas yang laki, terpedaya rayuan Anggie. Kami membolos upacara bendera! Aku tak sadar, diam-diam aku sudah mengkhianati Pak Karno. Tak nasionalis dan tak punya jiwa patriotisme!

“Kita kan kelas dua, bukan anak kecil lagi!” gila benar kata-kata Anggie. Sebenarnya aku ingin bertanya pada Anggie, batas apa yang membedakan seseorang dikatakan masih anak kecil dan yang sudah dewasa. Aku diam saja.

Kami berempat makan di kantin samping sebelah barat SMP. Kami enteng saja melakukannya, tak merasa berdosa secuilpun. Seperti biasa, soto satu mangkuk, es teh manis dan dua potong tempe goreng. Menu favorit kami. Bahkan, kami seolah ingin menggoda mara bahaya, mengintip dari warung sekaligus mengawasi jalannya upacara bendera dari jarak jauh.

Jam pelajaran pertama, Bu Sri Hartati, matematika. Dan mata pelajaran ini rupanya kelak akan menjadi cikal bakal masa depanku. Ah, elegan sekali.

“Alah sekalian bolos aja! Bu Tatik juga nggak jelas ngajarnya! Kita tanding bola saja sama kelas 2.B, hari ini jadwal mereka olahraga. Katanya Pak Yadi sakit, nggak masuk, olahraga bebas.” Aku yang notabene sayap kanan andalan tim sepakbola di kelas, tersulut semangat mendengar itu.

Dari 18 murid laki di kelas, Anggie berhasil memprovokasi 12 orang, termasuk aku. Aku yakin, dengan bakatnya kelak Anggie berpeluang besar menjadi penjual obat generik! Kami pun sepakat membolos. Asal tahu saja, kelas 2.B adalah musuh bebuyutan kelasku, 2.A. Di setiap kejuaran sepakbola di event class meeting, kami-lah yang masuk final. Hasilnya selalu imbang, dua kali class meeting, kelasku menang sekali, 2.B menang sekali.

Hampir dua jam pelajaran kami bertanding. Tanpa wasit. Kelas 2.B memakai seragam olahraga, kelasku pakai seragam OSIS SMP, putih biru. Tanpa sepatu. Memang, pertandingan selalu alot. Hasilnya tetap imbang. 2-2. Hampir mendekati injury time, bola terpelanting jauh keluar lapangan. Menggelinding ke pagar gerbang pintu masuk kantin Pak Tumin.

Dan, masya Allah, sebuah sepatu hak tinggi nangkring di atas bola itu. Kami terperanjat. Terbelalak. Si pemakai sepatu itu menyilangkan tangannya di depan dada. Rambutnya berurai-urai di terpa angin. Matanya melototi kami yang berseragam OSIS SMP. Tiga orang tampang menyeramkan juga berdiri di samping kiri-kanannya.

Bu Kadariyah wali kelasku!

Dan kalian tahu, tiga orang tampang menyeramkan itu? Mereka adalah guru BK (Bimbingan Konseling)! Merekalah polisi sekolah paling ditakuti. Mimik muka kejam. Kata-kata pedas. Terkenal tanpa ampun. Lewat didepan mereka harus menundukkan badan, merapikan pakaian yang serabutan, menata rambut yang berantakan.

Orang pertama bernama Pak Sudadi. Tinggi besar seperti Pak Sutrisno yang mantan wakil presiden Indonesia itu. Ia keturunan tentara. Jarang senyum. Marahnya tak terkira jika melihat murid yang sengaja melakukan pelanggaran di depan batang hidungnya. Waktu serasa berhenti ketika ia melintas, mirip-mirip Umar bin Khatab.

Yang kedua Pak Alex Ramelan. Nama belakangnya mirip alat musik tradisional Jawa. Postur tubuhnya agak pendek. Berkacamata dobel, cembung-cekung. Terkenal sadis dan tanpa ampun. Tak banyak bicara. Tapi jika bicara, gaya bicaranya santai tapi menyakitkan. Dua temanku (Anggieza Perdamaian Nasution dan Toni Muhanafi), celananya pernah dipotong dengan gunting hingga menyerupai rok! Aturan di SMP, celana harus 5 cm di atas lutut. Kedua temanku itu justru sebaliknya, 5 cm di bawah lutut. Mereka digiring ke ruang interogasi BK. Tanpa banyak cincong, gunting besar itu menyasak celana biru-biru menyedihkan itu. Kakak kelas tiga lebih parah lagi. Pongge, nama kerennya. Kepergok merokok di sudut WC yang bau pesing. Ia pun digiring bak kambing. Di ruang BK, Pak Alex menyediakan sebungkus rokok. Membuka bungkusnya dan menjejalkan 12 batang rokok itu ke mulut Pongge! Mulutnya seumpama sumbu meriam.

Pernah suatu ketika beliau memberikan bimbingan konseling di kelasku. Wibawa sekali gayanya. Beliau berdiri di tengah-tengah kelas. Mengangkat pulpen warna merah.

“Kalian percaya nggak pulpen ini bisa membunuh kalian?!”

Kami diam. Menggeleng. Pak Alex tersenyum.

“Kucolokkan ke mata kalian berkali-kali!!!” halus, menyakitkan, menyeramkan!

Dan yang terakhir adalah Bu Darini. Sebenarnya tidak galak. Keibuan. Tak pernah marah ataupun berkata sadis dan menyakitkan. Ia kalem. Tapi jika memberikan hukuman, sama seperti yang lain : tanpa ampun! Bu Darini memiliki suami yang pekerjaannya bergerak di bidang jasa sewa mobil angkutan. Dan salah satu armadanya adalah sebuah bus yang diberi nama “Bunga Desa”. Manis sekali namanya.

Aku ingat sekali. Kelas 1, masih siswa baru. Belum begitu memahami aturan sekolah. Aku dan Anggie duduk paling depan sebelah kiri. Meja guru ada di sebelah kanan. Jam pelajaran beliau memberikan bimbingan konseling kelas satu. Aku dan Anggie justru menggambar! Melanjutkan pekerjaan seni rupa yang belum kelar. Lebih sialnya, kami kepergok Bu Darini! Bodohnya kami.

Kami pun digiring ke ruang BK. Sederhana sekali hukumannya. Beliau sangat pengertian, kami masih murid baru. Mungkin ada sedikit belas kasihan yang diberikan untuk kami. Kami hanya dihukum menuliskan sebuah kalimat sederhana “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini lagi”. Berita baiknya, kalimat sederhana itu harus ditulis berulang-ulang sebanyak 10 halaman kertas folio bergaris!  Alamak!!

Di SMP-ku, beliau bertiga adalah simbol tegaknya hukum dan peraturan sekolah.

Tim kelas 2.B beringsut bubar, pura-pura mau mengganti pakaian olahraga yang basah keringat. Nasib buruk sudah mengintai kami, menerawang melalui sorot mata Bu Kadar.

“Kalian tahu kesalahan kalian?” Bu Kadar selalu tenang, tapi menakutkan. Kami berdua belas di jejer-jejerkan menempel tembok. Dibariskan serupa pindang yang mau dijemur. Kami diam. Tiga guru BK hanya bertugas sebagai pengawas, sambil mencatat dan menghafal nama-nama yang tertempel di dada sebelah kanan baju kami.

“Tadi Bu Sri Hartati melapor sama ibu, katanya kelas 2.A banyak yang bolos pelajarannya!” kami mendelik. Jantungku berdegup-degup tak jelas.

“Kalian tahu kesalahan kalian?” Bu Kadar mengulangi pertanyaan yang sama. Kali ini kami mengangguk hampir bersamaan. “Nanti sepulang sekolah, ibu ingin kalian menemui Bu Tatik. Minta maaf dan bilang tidak akan mengulangi kesalahan ini! Kalian paham?” kami serempak menjawab paham seperti koor.

Sepulang sekolah, dengan gaya gentleman, aku dan Anggie menemui Bu Tatik. Kawanku yang lain tak berani. Sungguh, suasana seperti ini rasanya tak enak. Kami menunggu di tempat parkir motor guru. Aku berdebar. Bu Tatik pun datang, mendekati motornya. Aku mulai berpikir macam-macam. Jangan-jangan setelah melapor dan meminta maaf, kami dihukum lari mengelilingi lapangan 20 kali. Atau paling parah, kami dihukum menyalin buku diktat matematika yang tebalnya tak mungkin terampuni.

Kami seperti pencopet yang mau menyerahkan diri ke polisi. Berjalan mendekat pelan-pelan. Menyergapnya dari belakang. Bu Tatik mulai menstarter motornya. Kami buru-buru menghentikannya. Melihat kami, Bu Tatik heran. Terang saja, beliau tidak mengenal kami. Memori ingatan beliau sudah penuh, tak sempat mengingat murid-murid tengik seperti kami.  Kali ini aku bangga pada Anggie. Ia memulai pengakuan dosa. Tentu saja harus dia, ia-lah ketua copetnya, pemimpin sekaligus pencetus ide bolos.

“Maaf Bu, kami dari kelas 2.A.” Cukup dengan itu Bu Tatik langsung paham. Dugaanku meleset. Bu Tatik tak marah sama sekali. Malahan tersenyum. Mungkin karena melihat tampang memelas kami.

“Besok lagi jangan diulangi…” Bu Tatik berlalu. Kami lega. Tak seseram yang kubayangkan.

Bersambung ke judul : AKU, IKAL, A LING DAN SEPEDA –3_2

One Response to AKU, IKAL, A LING DAN SEPEDA –3_1

  1. Wina says:

    Cerita yg lucu n menggelikan.
    Apkah anggieza perdamaian nasution tu lhr 22 nov?
    Asl sukoharjo?
    Q kgen ma dy.

Leave a comment